Ta’aruf Syar’i Solusi Pengganti Pacaran
penulis Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari
Syariah Problema Anda 14 - April - 2007 03:12:47
Pertanyaan:
1.
Apabila seorang muslim ingin menikah bagaimana syariat mengatur cara
mengenal seorang muslimah sementara pacaran terlarang dlm Islam?
2.
Bagaimana hukum berkunjung ke rumah akhwat yg hendak dinikahi dgn
tujuan utk saling mengenal karakter dan sifat masing-masing?
3. Bagaimana hukum seorang ikhwan mengungkapkan perasaan kepada akhwat calon istrinya?
Dijawab oleh Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari:
بِسْمِ اللهِ، الْحَمْدُ للهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ
Benar
sekali pernyataan anda bahwa pacaran adl haram dlm Islam. Pacaran adl
budaya dan peradaban jahiliah yg dilestarikan oleh orang2 kafir negeri
Barat dan lain kemudian diikuti oleh sebagian umat Islam dgn dalih
mengikuti perkembangan jaman dan sebagai cara utk mencari dan memilih
pasangan hidup. Syariat Islam yg agung ini datang dari Rabb semesta alam
Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana dgn tujuan utk membimbing
manusia meraih maslahat-maslahat kehidupan dan menjauhkan mereka dari
mafsadah-mafsadah yg akan merusak dan menghancurkan kehidupan mereka
sendiri.
Ikhtilath pergaulan bebas dan pacaran adl fitnah dan
mafsadah bagi umat manusia secara umum dan umat Islam secara khusus mk
perkara tersebut tdk bisa ditolerir. Bukankah kehancuran Bani Israil
–bangsa yg terlaknat– berawal dari fitnah wanita? Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
لُعِنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي
إِسْرَائِيْلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيْسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ
بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُوْنَ. كَانُوا لاَ يَتَنَاهَوْنَ عَنْ
مُنْكَرٍ فَعَلُوْهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُوْنَ
“Telah
terlaknat orang2 kafir dari kalangan Bani Israil melalui lisan Nabi
Dawud dan Nabi ‘Isa bin Maryam. Hal itu dikarenakan mereka bermaksiat
dan melampaui batas. Adalah mereka tdk saling melarang dari kemungkaran
yg mereka lakukan. Sangatlah jelek apa yg mereka lakukan.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ
الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَا
فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا
النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي
النِّسَاءِ
“Sesungguh dunia itu manis dan hijau dan Allah
Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kalian sebagai khalifah di atas kemudian
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerhatikan amalan kalian. mk
berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan wanita krn sesungguh awal
fitnah Bani Israil dari kaum wanita.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan umat utk berhati-hati dari fitnah wanita dgn sabda beliau:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلىَ الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku meninggalkan fitnah sepeninggalku yg lbh berbahaya terhadap kaum lelaki dari fitnah wanita.”
Maka
pacaran berarti menjerumuskan diri dlm fitnah yg menghancurkan dan
menghinakan padahal semesti tiap orang memelihara dan menjauhkan diri
darinya. Hal itu krn dlm pacaran terdapat berbagai kemungkaran dan
pelanggaran syariat sebagai berikut:
1. Ikhtilath yaitu bercampur
baur antara lelaki dan wanita yg bukan mahram. Padahal Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjauhkan umat dari ikhtilath sekalipun
dlm pelaksanaan shalat. Kaum wanita yg hadir pada shalat berjamaah di
Masjid Nabawi ditempatkan di bagian belakang masjid. Dan seusai shalat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiam sejenak tdk bergeser
dari tempat agar kaum lelaki tetap di tempat dan tdk beranjak
meninggalkan masjid utk memberi kesempatan jamaah wanita meninggalkan
masjid terlebih dahulu sehingga tdk berpapasan dgn jamaah lelaki. Hal
ini ditunjukkan oleh hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dlm Shahih
Al-Bukhari. Begitu pula pada hari Ied kaum wanita disunnahkan utk keluar
ke mushalla menghadiri shalat Ied namun mereka ditempatkan di mushalla
bagian belakang jauh dari shaf kaum lelaki. Sehingga ketika Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam usai menyampaikan khutbah beliau perlu
mendatangi shaf mereka utk memberikan khutbah khusus krn mereka tdk
mendengar khutbah tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Jabir
radhiyallahu ‘anhu dlm Shahih Muslim.
Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرِهَا، وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Sebaik-baik
shaf lelaki adl shaf terdepan dan sejelek-jelek adl shaf terakhir. Dan
sebaik-baik shaf wanita adl shaf terakhir dan sejelek-jelek adl shaf
terdepan.”
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Hal
itu dikarenakan dekat shaf terdepan wanita dari shaf terakhir lelaki
sehingga merupakan shaf terjelek dan jauh shaf terakhir wanita dari shaf
terdepan lelaki sehingga merupakan shaf terbaik. Apabila pada ibadah
shalat yg disyariatkan secara berjamaah mk bagaimana kira jika di luar
ibadah? Kita mengetahui bersama dlm keadaan dan suasana ibadah tentu
seseorang lbh jauh dari perkara-perkara yg berhubungan dgn syahwat. mk
bagaimana sekira ikhtilath itu terjadi di luar ibadah? Sedangkan setan
bergerak dlm tubuh Bani Adam begitu cepat mengikuti peredaran darah .
Bukankah sangat ditakutkan terjadi fitnah dan kerusakan besar
karenanya?”
Subhanallah. Padahal wanita para shahabat keluar
menghadiri shalat dlm keadaan berhijab syar’i dgn menutup seluruh tubuh
–karena seluruh tubuh wanita adl aurat– sesuai perintah Allah Subhanahu
wa Ta’ala dlm surat Al-Ahzab ayat 59 dan An-Nur ayat 31 tanpa
melakukan tabarruj krn Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang mereka
melakukan hal itu dlm surat Al-Ahzab ayat 33 juga tanpa memakai
wewangian berdasarkan larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dlm hadits Abu Hurairah yg diriwayatkan Ahmad Abu Dawud dan yg lain :
وَلْيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ
“Hendaklah mereka keluar tanpa memakai wewangian.”
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang siapa saja dari mereka yg
berbau harum krn terkena bakhur utk untuk hadir shalat berjamaah
sebagaimana dlm Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dlm surat Al-Ahzab ayat 53:
وَإِذَا سَأَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ
“Dan
jika kalian meminta suatu hajat kepada mereka mk mintalah dari balik
hijab. Hal itu lbh bersih bagi kalbu kalian dan kalbu mereka.”
Allah
Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan mereka berinteraksi sesuai tuntutan
hajat dari balik hijab dan tdk boleh masuk menemui mereka secara
langsung. Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata: “Maka tdk dibenarkan
seseorang mengatakan bahwa lbh bersih dan lbh suci bagi para shahabat
dan istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan bagi
generasi-generasi setelah tidaklah demikian. Tidak diragukan lagi
bahwa generasi-generasi setelah shahabat justru lbh butuh terhadap
hijab dibandingkan para shahabat krn perbedaan yg sangat jauh antara
mereka dlm hal kekuatan iman dan ilmu. Juga krn persaksian Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap para shahabat baik lelaki maupun
wanita termasuk istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sendiri bahwa mereka adl generasi terbaik setelah para nabi dan rasul
sebagaimana diriwayatkan dlm Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim.
Demikian pula dalil-dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah menunjukkan berlaku
suatu hukum secara umum meliputi seluruh umat dan tdk boleh
mengkhususkan utk pihak tertentu saja tanpa dalil.”
Pada saat yg
sama ikhtilath itu sendiri menjadi sebab yg menjerumuskan mereka utk
berpacaran sebagaimana fakta yg kita saksikan berupa akibat ikhtilath yg
terjadi di sekolah instansi-instansi pemerintah dan swasta atau
tempat-tempat yg lainnya. Wa ilallahil musytaka
2. Khalwat yaitu berduaan lelaki dan wanita tanpa mahram. Padahal Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلىَ النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ: أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Hati-hatilah
kalian dari masuk menemui wanita.” Seorang lelaki dari kalangan Anshar
berkata: “Bagaimana pendapatmu dgn kerabat suami? ” mk Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mereka adl kebinasaan.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Jangan sekali-kali salah seorang kalian berkhalwat dgn wanita kecuali bersama mahram.”
Hal
itu krn tidaklah terjadi khalwat kecuali setan bersama kedua sebagai
pihak ketiga sebagaimana dlm hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu
‘anhuma:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ
يَخْلُوَنَّ بِامْرَأَةٍ لَيْسَ مَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ مِنْهَا فَإِنَّ
ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ
“Barangsiapa beriman kepada
Allah dan hari akhir mk jangan sekali-kali dia berkhalwat dgn seorang
wanita tanpa disertai mahram krn setan akan menyertai keduanya.”
3.
Berbagai bentuk perzinaan anggota tubuh yg disebutkan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dlm hadits Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu:
كُتِبَ عَلىَ ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَا مُدْرِكٌ
ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ: الْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ،
وَاْلأُذُنَانِ زِنَاهُمَا اْلاِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ
الْكَلاَمُ، وَالْيَدُ زِنَاهُ الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهُ الْخُطَا،
وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ
يُكَذِّبُهُ
“Telah ditulis bagi tiap Bani Adam bagian
dari zina pasti dia akan melakukan kedua mata zina adl memandang kedua
telinga zina adl mendengar lidah zina adl berbicara tangan zina adl
memegang kaki zina adl melangkah sementara kalbu berkeinginan dan
berangan-angan mk kemaluan lah yg membenarkan atau mendustakan.”
Hadits
ini menunjukkan bahwa memandang wanita yg tdk halal utk dipandang
meskipun tanpa syahwat adl zina mata . Mendengar ucapan wanita dlm
bentuk meni’mati adl zina telinga. Berbicara dgn wanita dlm bentuk
meni’mati atau menggoda dan merayu adl zina lisan. Menyentuh wanita yg
tdk dihalalkan utk disentuh baik dgn memegang atau yg lain adl zina
tangan. Mengayunkan langkah menuju wanita yg menarik hati atau menuju
tempat perzinaan adl zina kaki. Sementara kalbu berkeinginan dan
mengangan-angankan wanita yg memikat mk itulah zina kalbu. Kemudian
boleh jadi kemaluan mengikuti dgn melakukan perzinaan yg berarti
kemaluan telah membenarkan; atau dia selamat dari zina kemaluan yg
berarti kemaluan telah mendustakan.
Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيْلاً
“Dan janganlah kalian mendekati perbuatan zina sesungguh itu adl perbuatan nista dan sejelek-jelek jalan.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حِدِيْدٍ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ
“Demi
Allah sungguh jika kepala salah seorang dari kalian ditusuk dgn jarum
dari besi mk itu lbh baik dari menyentuh wanita yg tdk halal baginya.”
Meskipun sentuhan itu hanya sebatas berjabat tangan mk tetap tdk boleh. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
وَلاَ وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُوْلِ اللهِ يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ غَيْرَ أَنَّهُ يُبَايِعُهُنَّ بِالْكَلاَمِ
“Tidak.
Demi Allah tdk pernah sama sekali tangan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menyentuh tangan wanita melainkan beliau membai’at
mereka dgn ucapan .”
Demikian pula dgn pandangan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman dlm surat An-Nur ayat 31-30:
قُلْ
لِلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا
فُرُوْجَهُمْ – إِلَى قَوْلِهِ تَعَلَى – وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ
يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ ..
“Katakan
kepada kaum mukminin hendaklah mereka menjaga pandangan serta kemaluan
mereka –hingga firman-Nya- Dan katakan pula kepada kaum mukminat
hendaklah mereka menjaga pandangan serta kemaluan mereka .”
Dalam Shahih Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma dia berkata:
سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظْرِ الْفَجْأَةِ؟ فَقَالَ: اصْرِفْ بَصَرَكَ
“Aku
berta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
pandangan yg tiba-tiba ? mk beliau bersabda: ‘Palingkan pandanganmu’.”
Adapun
suara dan ucapan wanita pada asal bukanlah aurat yg terlarang. Namun
tdk boleh bagi seorang wanita bersuara dan berbicara lbh dari tuntutan
hajat dan tdk boleh melembutkan suara. Demikian juga dgn isi
pembicaraan tdk boleh berupa perkara-perkara yg membangkitkan syahwat
dan mengundang fitnah. Karena bila demikian mk suara dan ucapan menjadi
aurat dan fitnah yg terlarang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوْفًا
“Maka
janganlah kalian berbicara dgn suara yg lembut sehingga lelaki yg
memiliki penyakit dlm kalbu menjadi tergoda dan ucapkanlah perkataan yg
ma’ruf .”
Adalah para wanita datang menemui Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan di sekitar beliau hadir para shahabat
lalu wanita itu berbicara kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyampaikan kepentingan dan para shahabat ikut mendengarkan.
Tapi mereka tdk berbicara lbh dari tuntutan hajat dan tanpa melembutkan
suara.
Dengan demikian jelaslah bahwa pacaran bukanlah
alternatif yg ditolerir dlm Islam utk mencari dan memilih pasangan
hidup. Menjadi jelas pula bahwa tdk boleh mengungkapkan perasaan sayang
atau cinta kepada calon istri selama belum resmi menjadi istri. Baik
ungkapan itu secara langsung atau lewat telepon ataupun melalui surat.
Karena saling mengungkapkan perasaan cinta dan sayang adl hubungan
asmara yg mengandung makna pacaran yg akan menyeret ke dlm fitnah.
Demikian pula hal berkunjung ke rumah calon istri atau wanita yg ingin
dilamar dan bergaul dengan dlm rangka saling mengenal karakter dan
sifat masing-masing krn perbuatan seperti ini juga mengandung makna
pacaran yg akan menyeret ke dlm fitnah. Wallahul musta’an .
Adapun
cara yg ditunjukkan oleh syariat utk mengenal wanita yg hendak dilamar
adl dgn mencari keterangan tentang yg bersangkutan melalui seseorang
yg mengenal baik tentang biografi karakter sifat atau hal lain yg
dibutuhkan utk diketahui demi maslahat pernikahan. Bisa pula dgn cara
meminta keterangan kepada wanita itu sendiri melalui perantaraan
seseorang seperti istri teman atau yg lainnya. Dan pihak yg dimintai
keterangan berkewajiban utk menjawab seobyektif mungkin meskipun harus
membuka aib wanita tersebut krn ini bukan termasuk dlm kategori ghibah
yg tercela. Hal ini termasuk dari enam perkara yg dikecualikan dari
ghibah meskipun menyebutkan aib seseorang. Demikian pula sebalik dgn
pihak wanita yg berkepentingan utk mengenal lelaki yg berhasrat utk
meminang dapat menempuh cara yg sama.
Dalil yg menunjukkan hal
ini adl hadits Fathimah bintu Qais ketika dilamar oleh Mu’awiyah bin
Abi Sufyan dan Abu Jahm lalu dia minta nasehat kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mk beliau bersabda:
أَمَّا أَبُو
جَهْمٍ فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ، وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ
فَصُعْلُوْكٌ لاَ مَالَ لَهُ، انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ
“Adapun
Abu Jahm mk dia adl lelaki yg tdk pernah meletakkan tongkat dari
pundak . Adapun Mu’awiyah dia adl lelaki miskin yg tdk memiliki harta.
Menikahlah dgn Usamah bin Zaid.”
Para ulama juga menyatakan boleh
berbicara secara langsung dgn calon istri yg dilamar sesuai dgn
tuntunan hajat dan maslahat. Akan tetapi tentu tanpa khalwat dan dari
balik hijab. Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dlm Asy-Syarhul Mumti’ berkata:
“Boleh berbicara dgn calon istri yg dilamar wajib dibatasi dgn syarat
tdk membangkitkan syahwat atau tanpa disertai dgn meni’mati percakapan
tersebut. Jika hal itu terjadi mk hukum haram krn tiap orang wajib
menghindar dan menjauh dari fitnah.”
Perkara ini diistilahkan dgn
ta’aruf. Adapun terkait dgn hal-hal yg lbh spesifik yaitu organ tubuh
mk cara yg diajarkan adl dgn melakukan nazhor yaitu melihat wanita yg
hendak dilamar. Nazhor memiliki aturan-aturan dan
persyaratan-persyaratan yg membutuhkan pembahasan khusus .
Wallahu a’lam.